Sejarah Kota Medan - Sumut
Posted by alfi fadlan
Kota Medan
adalah ibu kota provinsi Sumatera Utara, Indonesia. Kota ini merupakan
kota terbesar di Pulau Sumatera Kota Medan merupakan pintu gerbang
wilayah Indonesia bagian barat dan juga sebagai pintu gerbang bagi para
wisatawan untuk menuju objek wisata Brastagi di daerah dataran tinggi
Karo, objek wisata Orangutan di Bukit Lawang, Danau Toba.
Menurut Tengku Lukman Sinar, SH
dalam bukunya “Riwayat Hamparan Perak” yang terbit tahun 1971, yang
mendirikan kampung Medan adalah Raja Guru Patimpus, nenek moyang Datuk
Hamparan Perak (Dua Belas Kota) dan Datuk Sukapiring, yaitu dua dari
empat kepala suku Kesultanan Deli.
John Anderson, seorang pegawai
Pemerintah Inggeris yang berkedudukan di Penang, pernah berkunjung ke
Medan tahun 1823. Dalam bukunya bernama “Mission to the Eastcoast of
Sumatera”, edisi Edinburg tahun 1826, Medan masih merupakan satu kampung
kecil yang berpenduduk sekitar 200 orang. Di pinggir sungai sampai ke
tembok Mesjid kampung Medan, ada dilihatnya susunan batu-batu granit
berbentuk bujur sangkar yang menurut dugaannya berasal dari Candi Hindu
di Jawa.
Menurut legenda, dizaman
dahulu kala pernah hidup di Kesultanan Deli Lama kira-kira 10 km dari
kampung Medan, di Deli Tua sekarang seorang putri yang sangat cantik dan
karena kecantikannya diberi nama Putri Hijau. Kecantikan puteri itu
tersohor kemana-mana, mulai dari Aceh sampai ke ujung utara Pulau
Jawa.Sultan Aceh jatuh cinta pada puteri itu dan melamarnya untuk
dijadikan permaisurinya. Lamaran Sultan Aceh itu ditolak oleh kedua
saudara laki-laki Putri Hijau. Sultan Aceh sangat marah karena
penolakannya itu dianggap sebagai penghinaan terhadap dirinya. Maka
pecahlah perang antara kesultanan Aceh dan kesulatanan Deli.
Menurut legenda yang tersebut di
atas, dengan mempergunakan kekuatan gaib, seorang dari saudara Putri
Hijau menjelma menjadi seekor ular naga dan yang seorang lagi sebagai
sepucuk meriam yang tidak henti-hentinya menembaki tentara Aceh hingga
akhir hayatnya.
Kesultanan Deli Lama
mengalami kekalahan dalam peperangan itu dan karena kecewa, Putera
mahkota yang menjelma menjadi meriam itu, meledak bagian belakangnya
terlontar ke Labuhan Deli dan bagian depannya kedataran tinggi Karo,
kira-kira 5 km dari Kabanjahe.Pangeran yang seorang lagi yang telah
berubah menjadi seekor ular naga itu, mengundurkan diri melalui satu
saluran dan masuk ke dalam Sungai Deli disatu tempat yang berdekatan
dengan Jalan Putri Hijau sekarang. Arus sungai membawanya ke Selat
Malaka dari tempat ia meneruskan perjalanannya yang terakhir di ujung
Jambo Aye dekat Lok Seumawe, Aceh.Putri Hijau ditawan dan dimasukkan
dalam sebuah peti kaca yang dimuat ke dalam kapal untuk seterusnya
dibawa ke Aceh.Ketika kapal sampai di ujung Jambo Aye, Putri Hijau mohon
diadakan satu upacara untuknya sebelum peti diturunkan dari kapal. Atas
permintaannya, harus diserahkan padanya sejumlah beras dan beribu-ribu
telur. Permohonan tuan Putri itu dikabulkan.
Tetapi, baru saja upacara
dimulai, tiba-tiba berhembus angin ribut yang maha dahsyat disusul oleh
gelombang-gelombang yang sangat tinggi. Dari dalam laut muncul abangnya
yang telah menjelma menjadi ular naga itu dengan menggunakan rahangnya
yang besar itu, diambilnya peti tempat adiknya dikurung, lalu dibawanya
masuk ke dalam laut.
Legenda ini sampai sekarang
masih terkenal dikalangan orang-orang Deli dan malahan juga dalam
masyarakat Melayu di Malaysia. Di Deli Tua masih terdapat reruntuhan
benteng dari Puri yang berasal dari zaman Putri Hijau, sedangkan sisa
meriam, penjelmaan abang Putri Hijau, dapat dilihat di halaman Istana
Maimun, Medan.
Kota Medan Pada Masa Penjajahan Jepang
Tahun 1942 penjajahan Belanda
berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah
seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang
mendarat di Sumatera Timur.
Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang
berpangkalan
di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapore, tepatnya mereka
mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi
Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung
oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni
Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peurlak Aceh Timur sekarang) dan
Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).
Pasukan tentara Jepang yang
mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan,
mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat disekitarnya secara
barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena
mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan
menyambut kedatangannya.
Ketika peralihan kekuasaan
Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi
mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda.
Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan
pasukannya yang bernama “ Kempetai “ (Polisi Militer Jepang). Dengan
masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama
pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut “Gemeente Bestuur “
oleh Jepang dirobah menjadi “Medan Sico“ (Pemerintahan Kotapraja). Yang
menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu
hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat
keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut
Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen
disebut dengan Gunseibu.
Penguasaan Jepang semakin
merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena
dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai
seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja.
Disebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun
Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Dikawasan Titi Kuning Medan
Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka
membangun landasan pesawat tempur Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar